Search

Bengkel Budaya

Menyemai Insan Cendekia

Tag

masa depan

Alur yang Menuntun

“Di atas semua rel logika perjalanan itulah, hidup sebagian mungkin tak ubahnya seperti kereta tua. Itu tak boleh terjadi. Sebab sepotong hidup hanya sekali datang, sesudah itu secepatnya pergi” -A. Zairofi AM-

Banyak di antara kita yang terlalu lama menghabiskan waktu untuk berpikir. Tercenung menunggu ketidakpastian. Menanti keajaiban yang entah kapan datangnya. Sementara ada orang-orang yang bekerja keras siang dan malam, tanpa perlu berpikir kapan keajaiban akan didapatkan. Semua muncul justru saat proses dijalankan. Terlalu naïf untuk kita bermimpi, tapi tak ada alur yang sejak awal kita ikuti. Sadar ataupun tidak, kita terlalu sering berharap, terlintas pikir kita ingin ke A, bolehlah ke B, atau harus ke C, tapi tak pernah ada gerak untuk meretas batas, yang barangkali, menurut kita, terlalu sulit untuk ditembus.

Ketakutan akan masa depan mungkin sekali dua kali membayang. Pertanyaan dari orang-orang sekitar, cibiran dari masyarakat, atau nama yang muncul dari layar HP: ‘ibu’, ‘ayah’, ‘kakak’, ‘adik’, hinggap sampai terbawa ke alam tidur. Kegelisahan, kepanikan, semua tentu akan kita rasa saat alur hidup kita menuntut banyak hal. Tapi semua akan berlalu jika kita paham: ada alur yang menuntun kita sejak kita dilahirkan. Semua tercatat, tanpa kita sadar, di sana, dunia yang tak pernah kita tahu. Rizki, jodoh, alur hidup kita tertuntun ke satu muara, tergantung seberapa keras usaha kita untuk menjemput.

Suatu hari dalam sejarah hidup kita, kita akan banyak menuai pelajaran, mencerna, melihat, merasakan setiap perubahan dalam lingkungan kita. Saat perubahan itu muncul begitu cepat, kematangan kita diuji, dan pasti, satu dua kali jatuh dengan luka-lara. Itu tentu menjadi hal yang wajar. Ketidakwajaran adalah justru ketika hati kita gelap, lisan  gagap dan gerak tak sigap, tidak peka melihat sekitar. Rasa khawatir adalah sebuah fase hidup dan akan terus kita alami. Seperti kata Rendra, “suka duka bukanlah suatu hal yang istimewa, karena semua orang mengalaminya”.

Kita berperang melawan keengganan, kita berperang melawan sikap negatif yang berlebih, kita berperang dengan diri kita sendiri. Sebab kita tentu punya “senjata” untuk menaklukannya. Nurani pasti akan menuntun ke mana alur itu berjalan. Gairah hidup, semangat, kerja keras, keberanian mengambil resiko, semua bersumber dari energi yang tak akan pernah habis: keyakinan (AS)

 

Alur yang Menuntun

“Di atas semua rel logika perjalanan itulah, hidup sebagian mungkin tak ubahnya seperti kereta tua. Itu tak boleh terjadi. Sebab sepotong hidup hanya sekali datang, sesudah itu secepatnya pergi” -A. Zairofi AM-

Banyak di antara kita terlalu lama menghabiskan waktu untuk berpikir. Tercenung menunggu ketidakpastian. Menanti inspirasi yang entah kapan datangnya. Sementara ada orang-orang yang bekerja keras siang dan malam, tanpa perlu berpikir kapan inspirasi akan didapatkan. Semua muncul justru saat proses dijalankan. Terlalu naïf untuk kita bermimpi, tapi tak ada alur yang sejak awal kita ikuti. Sadar ataupun tidak, kita terlalu sering berharap, terlintas pikir kita ingin ke A, bolehlah ke B, atau harus ke C, tapi tak pernah ada gerak untuk meretas batas, yang barangkali, menurut kita, terlalu sulit untuk ditembus.

Ketakutan akan masa depan mungkin sekali dua kali membayang. Pertanyaan dari orang-orang sekitar, cibiran dari masyarakat, atau nama yang muncul dari layar HP: ‘ibu’, ‘ayah’, hinggap sampai terbawa ke alam tidur. Kegelisahan, kepanikan, semua tentu akan kita rasa saat alur hidup kita menuntut banyak hal. Tapi semua akan berlalu jika kita paham: ada alur yang menuntun kita sejak kita dilahirkan. Semua tercatat, tanpa kita sadar, di sana, dunia yang tak pernah kita tahu. Rizki, jodoh, alur hidup kita tertuntun ke satu muara, tergantung seberapa keras usaha kita untuk menjemput.

Suatu hari dalam sejarah hidup kita, kita akan banyak menuai pelajaran, mencerna, melihat, merasakan setiap perubahan dalam lingkungan kita. Saat perubahan itu muncul begitu cepat, kematangan kita diuji, dan pasti, satu dua kali jatuh dengan luka-lara. Itu tentu menjadi hal yang wajar. Ketidakwajaran adalah justru ketika hati kita gelap, lisan kita gagap, tidak peka melihat sekitar. Rasa khawatir adalah sebuah fase hidup dan akan terus kita alami. Seperti kata Rendra, “suka duka kita bukanlah istimewa, kerna semua orang mengalaminya”.

Kita berperang melawan keengganan, kita berperang melawan sikap negatif yang berlebih, kita berperang dengan diri kita sendiri. Sebab kita tentu punya “senjata” untuk menaklukannya. Nurani pasti akan menuntun ke mana alur itu berjalan. Gairah hidup, semangat, kerja keras, keberanian mengambil resiko, semua bersumber dari energi yang tak akan pernah habis: keyakinan (AS)

Up ↑