Hallo, kawan, gimana kabar? hehe. Sudah lama sebetulnya ingin berbagi tentang kesan saya di Ramadhan. Baru sempat menulis sekarang nih, hehehe.

Ngomong-ngomong, saya merasa Ramadhan tahun ini berbeda. Merasa lebih tenang, lebih semangat, lebih banyak hal produktif yang bisa dilakukan. Waduh, saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan sebelum Ramadhan saya melakukan banyak kesia-siaan, sampai-sampai “baru segini doank” saya jadi merasa lebih baik #tamparseribukali, haha. Jadi, begini, sebelum Ramadhan ini, beberapa bulan saya melakukan rutinitas yang itu-itu saja, rekening sih gemuk, #eeeaa, tapi hati kok yah garing.

Saya ingat sekali ketika kali pertama saya mendapat pekerjaan di kantor, gaji pertama itu buat hati berbunga-bunga, apalagi awal-awal kerja itu pusingnya minta ampun, tapi lama kelamaan, walau rejeki dalam bentuk ‘uang’ itu gak pernah surut, rasa berbunga-bunga itu hilang begitu saja. Saya berkesimpulan bahwa kebahagiaan itu gak pernah bisa ditukar dengan uang. Yeah! Kalau kata Jessie J “Why is everybody so obsessed? Money can’t buy us happiness. Can we all slow down and enjoy right now. Guarantee we’ll be feeling alright” 😀

Akhirnya, setelah berjibaku dengan aktivitas rutin yang itu-itu saja,  baru minggu kemarin saya dan teman-teman Nalacity, proyek bisnis sosial, berkunjung ke Sitanala, berbagi parsel dan THR. Rasanya itu beda, lihat ibu-ibu tersenyum, lihat anak-anak kecil berkeliaran, liat teman-teman lama datang lagi membantu, jadi kebahagiaan tersendiri buat saya. Memang, manusia itu gak pernah puas kalau cuma ngejar materi. Sudah diberi A, minta B, sudah menerima B, ngarep C, dan seterusnya.

Di saat sedang merasa ada di comfort zone, di saat saya merasa bosan dengan pekerjaan demi pekerjaan, tiba-tiba tamu yang mulia datang, “Jeng…Jeng..”. Bertanya-tanya, apa yang harus saya persiapkan? Akhirnya, setelah bebas dari segala macam tugas training, saya secara serampangan mengambil buku agenda saya, supaya saya bisa list hal-hal apa saja yang harus saya lakukan. Oh yah, saya punya buku agenda, ada lembaran yang saya namakan stupid paper, isinya list ‘things to do’ dari mulai SMS adik tanya kabar, bayar utang, beli ini itu, cek ATM, kontrol ke dokter gigi, tugas ini itu, dll. Begitu satu agenda kelar, per poin akan saya coret. Berhubung saya pelupa, jadi hal sekecil apapun saya tulis. Oh yah, pasti bertanya-tanya kenapa namanya stupid paper. Sejujurnya saya gak tahu sejarah namanya, haha. Yang jelas, saya mendapat kebiasaan ini sejak saya ikut training ILDP bareng Bang Arief dan teman-teman mapres UI 2 tahun yang lalu. It works! Kalau boleh berasumsi, mungkin penamaan ‘stupid paper’ karena biar kita bisa lebih detail dan gak skip, haha. Yang gak detail dan skip itu yah berarti ‘stupid’, hehe. Akhirnya, saya buat target Ramadhan di stupid paper itu.

Bulan Ramadhan ini bulan yang penuh berkah. Sejujurnya, baru kali ini saya merasa benar-benar, “gak mau banget pisah dari Ramadhan”. Ketika lihat teman-teman kantor yang biasanya gak shalat jadi shalat, ketika Nalacity dalam satu minggu bisa mengumpulkan donasi 6 juta, ketika buka bareng bisa silaturahim dengan teman-teman lama, ketika interaksi dengan Tuhan dan dengan alqur’an semakin tinggi, ketika orang-orang yang bermusuhan jadi berdamai, ketika rasa gelisah resah tak tentu arah alias galau hilang, haha, ketika acara-acara TV ada yang meaning dikitlah, haha, ketika saya merasa ‘gak guna banget’ jadi orang kalau bengong dikit di bus tanpa pegang buku, semua karena Ramadhan 😀

Akhirnya, saya jadi berkesimpulan bahwa kebahagiaan itu memang didapat ketika kita bisa mangamalkan hablumminallah (hubungan dengan Tuhan) dan hablumminannas (hubungan dengan manusia) secara seimbang. Beda ketika kita berinteraksi dengan ‘uang’. Mungkin kebahagiaan yang ada juga bersifat sementara. Saya jadi ingat salah seorang teman saya yang pernah mengikuti konferensi Psikologi di U.S. Setelah semua peserta berdiskusi tentang apa kebahagiaan tertinggi, mereka memutuskan bahwa kebahagiaan itu didapat ketika kita ‘memberikan sesuatu untuk orang lain”. Nah, sebetulnya Islam sudah mengajarkan ini sejak dari dulu. Rasa bahagia itu didapat ketika kita dekat dengan Tuhan, dan salah satunya adalah dengan memberikan kebahagiaan untuk orang lain.

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)

Ramadhan adalah waktu yang pas bagi kita untuk berbagi dengan sesama. Kan ada tuh di haditsnya, kalau kita berbuat kebaikan, balasannya bisa sepuluh kali lipat amalnya. Apalagi kalau bulan Ramadhan, bisa berkali-kali lipat lagi. Saya juga sedang berusaha menjadi orang yang tanggap dalam memenuhi hak-hak saudara. Terkadang kita tidak begitu peka terhadap kesulitan teman-teman dekat kita. Bahkan mungkin kita terlalu sibuk membicarakan aib mereka. Semoga Ramadhan menjadi sebaik-baiknya waktu untuk berdo’a, berbagi, memaafkan, dan menyenangkan hati saudara :D. Barangkali di situlah letak kebahagiaan yang sesungguhnya.

Wallahu’alam