Raka, ia paling takut dengan jatuh cinta. Sangat takut. Kata orang-orang, cinta itu hanya akan menciptakan ketakutan; takut kecewa, takut dikhianati, takut bertepuk sebelah tangan, takut kalau-kalau cinta hanya akan mengganggu pikiran dan membuang waktu. Ia akan membuat hidup terlalu mendramatisir, berlebihan, tidak bisa dikontrol, dan yang paling menakutkan di antara semuanya adalah, tidak bisa menjadi diri sendiri.

Mendengar omongan orang-orang, Raka menyimpan hatinya pada sebuah botol. Ia hendak menyelamatkan hati itu. Kemudian ia hanyutkan botol itu ke sebuah sungai. Dengan harapan, botol itu bisa berjalan mengikuti arus, menikmati ritme air, merasai alirannya, dari tinggi ke rendah, meliuk-liuk saja melewati bebatuan. Hidup rasanya begitu menyenangkan, seperti tak ada beban. Mengalir tak ada aral. Hidup Raka begitu nyaman.

Tapi Raka lupa, bagaimanapun air sungai bermuara ke lautan. Botol itu akhirnya sampai di tengah laut, terombang-ambing. Jika ada kapal lewat, botol itu bergerak ke kanan untuk menghindar, sesekali ke kiri untuk menyelamatkan diri. Hampir tertangkap jala nelayan, kalau saja tak ada ombak yang mendorongnya ke tepian.

Saat botol itu sampai di tepi, ada seseorang yang mengambil botol Raka. Ia membersihkan botol itu dari pasir-pasir, ia bersihkan dengan pelan-pelan, ia intip isi botolnya, adakah sesuatu di dalam sana, sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih menyenangkan dari berlari-lari di tepi pantai? Anak itu mengambil botol yang berisi hati Raka.

****

Hati Raka tiba-tiba gelisah. Rasanya, kemarin-kemarin, kondisinya tidak seperti ini. Tapi semakin lama, si anak memperlakukan botol itu dengan istimewa. Ia membuat gundukan pasir, agar botol itu bisa nyaman berbaring. Ia bahkan memberikan botol itu baju, memperlakukannya bagai ratu. Ia bermain-main di tengah terik matahari. Ia tak peduli, biar kulitnya hangus terbakar, biar waktu saja yang menemani mereka di tepi laut. Lama-lama Hati Raka merasa nyaman, beginikah rasanya menepi? Beginikah rasanya bermain-main membersamai pasir dan matahari?

Waktu rupanya membuat anak yang mengambil botol itu lupa. Tiba-tiba saja, ada seorang lelaki dari kejauhan mengibarkan bendera merah. Ia berteriak-teriak. Katanya, jangan mendekat ke laut, apalagi berenang di pantai karena akan ada tsunami datang. Orangtua si anak pun menyusul berteriak dari kejauhan, “Ayo pulang, kamu besok sekolah. Nanti sakit kalau kelamaan main” Maka anak itu segera menyingkir, panik, botol Raka ditinggalkannya, walaupun terasa begitu berat.

Tsunami datang tanpa ampun. Botol itu ditahan oleh gelombang, hingga akhirnya tertabrak karang dan pecah berkeping-keping. Hati Raka, di tempat yang berbeda, tergagap-gagap berujar, “beginikah rasanya, apa yang dibilang orang-orang?” Di mana tadi kebahagiaan yang hati Raka rasa? Di manakah tadi yang mengambil hati Raka? Hati Raka kehilangan pegangan. Ia tenggelam ke dasar laut. Tidak bisa bernafas, semakin ke dalam, semakin gelap saja. Ingin menggapai-gapai, meminta tolong, tapi siapa juga yang mendengar? Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hingga tahun demi tahun berlalu. Rasanya semakin sesak saja. Tenggelam di dasar laut, sama seperti mendaki sebuah gunung, semakin ke atas, semakin berat, dan semakin sulit untuk bernafas. Pada saat itulah, hati Raka bertanya-tanya, “adakah kekuatan yang bisa menyelamatkan?” “Mengapa sulit sekali untuk memaafkan?”

Hingga suatu hari, si anak yang dulu mengambil hati Raka itu menyelam ke dasar laut. Ia terkejut begitu mendapati hati Raka yang mengkerut kedinginan. Ia bawa hati Raka ke luar dari laut, ia memberi hati Raka nafas ke permukaan. Ia berkata, “Mana botol kamu? Mana rumah tempat kamu berlindung. Ayo pulang”. Hati Raka mulai kembali normal. Ia tidak lagi ingin bermain-main di tepi laut karena itu membuatnya lama mengkerut. Hati Raka mulai tenang dan damai. Sekalipun perlakuan sang anak berbeda terhadapnya, hati Raka tidak pernah lagi berontak. Anak itu menyimpan hati Raka di dalam botol, dan menghanyutkannya ke sungai. Katanya, hati Raka harus kembali kepada pemiliknya. “Semoga di tengah perjalanan, kamu menemui Tuanmu” kata sang anak. Hati Raka menurut.

Botol itu berjalan mengikuti arus, menikmati ritme air, merasai alirannya, dari tinggi ke rendah, meliuk-liuk saja melewati bebatuan. Hidup terasa tenang dan damai kembali. Dalam perjalanan panjang itu, ia baru menyadari, betapa banyak hati yang disimpan di dalam botol, yang membersamai dirinya di hulu sungai. Ia melihat, merasa, mencerna, mengenali satu persatu botol itu. Betapa banyak hati yang sedang mencari Tuannya, batin hati Raka.

****

Hingga tahun demi tahun berlalu. Hati Raka sudah tahan terhadap serbuan gelombang, hujan badai dan segala macam tentangan dalam perjalanannya. Ia bisa menghindari karang demi karang, tapi di mana ia harus mencari tubuh Raka? Tubuh pemilik hatinya. Dimana?

Dalam perjalanan mencari, suatu hari, ia melihat seseorang yang familiar berdiri di tengah kapal. Ah, anak itu! Betapa rindunya hati Raka. Sudah lama sekali ia tidak melihat anak itu. Anak yang dikenalnya itu sedang berdiri di atas kapal di tengah lautan. Ada seseorang yang berdiri di sampingnya sambil tertawa-tawa. Mereka tampak bahagia. Hati Raka mereka-reka, tawa keduanya itu persis seperti kali pertama si anak menemui hati Raka untuk kali pertama. Kejadian seperti ini seharusnya, sudah sejak dulu, betul-betul diperkirakan.

Anak itu menyahut, seperti mengenali hati Raka, “Hai, Kamu!. Tapi hati Raka jadi mengkerut, ia mundur beringsut. Kedua kalinya ia menyahut “Hai, Kamu!”. Hati Raka malah lebih mengkerut. Lalu ia menyahut lebih keras lagi, “H..a..i k..a m..u…i.ni…” . Tapi hati Raka sudah tak bisa mendengar. Ia mengkerut. Menjadi-jadi hingga tenggelam ke dasar laut (*)