Search

Bengkel Budaya

Menyemai Insan Cendekia

Tag

cita-cita

Membaca Cahaya

Buat para sahabat kampus

 

Memang sulit untuk memulai. Tidak seperti marah lalu tiba-tiba memecahkan sebuah gelas. Atau membanting pintu. Atau juga teriak sekeras-keras. Semuanya tercekat di laring leher. Terbang di batas antara langit dan bumi. Kalaupun bergerak, itu hanya pelan. Tak ada suara. Masa itu, terjadi juga, pada akhirnya. Menerima.

 

Pengalaman. Peristiwa. Orang per orang. Masalah. Jejak. Puzzle bertahun-tahun yang coba disusun satu per satu selama empat tahun.  Seperti tak ada bentuk. Yang tersisa hanya, sebuah pertanyaan: ke mana lagi kaki ini melangkah?

 

Satu per satu sepatu ini menjejak ke tempat baru. Satu persatu mata ini menemui orang-orang baru. Satu per satu pikiran dan tenaga terkuras di arena yang baru. Apa yang dilihat dulu mungkin berbeda dengan yang dirasa sekarang, begitu pula di masa depan.  Kita tak pernah tahu apa yang terjadi esok hari.

 

Manusia tak hidup di satu tempat. Satu di A, lain nanti di B. Kita tak menemui peristiwa yang sama. Kalaupun ada, pasti efek yang timbul ke depannya berbeda. Kita tak hanya bercakap dengan orang yang sama. Setiap harinya interaksi menjelma menjadi pengalaman yang berbeda. Satu benang terjalin dengan benang lain. Membentuk satu pengertian. Satu hubungan sebab-akibat. Dan satu takdir. Bahwa perubahan demi perubahanlah yang justru mendewasakan.

 

Sulit untuk memulai. Lebih tepatnya memilah semua yang tertahan di pikiran. Bahkan di hati, di leher, di telinga, di mata, di kaki, di mulut. Semuanya jadi saksi penggal demi penggal hidup. Masing-masing organ tak bisa hidup sendiri. Semuanya menyaksikan, dengan utuh. Seiring peristiwa yang terus bertumbuh, seiring pilihan yang terus menyubur.

 

Dan setiap jalinan peristiwa juga berbeda. Setiap ujian juga tak sama. Tapi mereka mengisi. Membangun mental, perasaan, dan kedewasaan berpikir. Tidak harus menyesali yang sudah-sudah, toh melihat spion terlalu lama berakibat fatal: kecelakaan

 

Ada banyak bintang di langit, Kawan. Simbol harapan bagi sebagian orang. Tapi toh bintang juga seringkali jatuh justru untuk menguatkan harap.  Tidak melalu menggantung di langit kan? Ia jatuh, agar selalu ada do’a yang memperkuat kerja-kerja cinta.

 

Benar kita tak pernah diam di satu tempat. Kondisi yang dihadapi juga tidak stagnan. Benar bahwa kita tak pernah tahu apa yang terjadi esok. Tapi berusaha sebaik-baiknya, setidaknya membuat kita sadar, bahwa kita mampu membaca, yang mana bintang kita.

 

Depok, 23 Juli 2011

Empat Tempelan

A lecturerSenin kemarin, tidak tahu apa yang menggerakkan tangan saya untuk merapikan tumpukan skripsi tanpa cover yang saya taruh di atas lemari baju. Kalau dilihat-lihat, sepertinya kamar saya sudah tidak nyaman, saking banyaknya tas yang berisi hand out kuliah, file organisasi, dan buku-buku koleksi. Sumpek. Butuh kamar yang lebih luas. Ditambah lagi, di depan kamar saya sedang dibangun bangunan baru. It means, saya harus berbesar hati karena setiap kali menyapu pagi, pulang sore kamar sudah sangat berdebu.

Selagi beres-beres, mata saya tertumbuk pada tumpukan folder. Ada empat, warna biru, hitam, pink, dan hijau. Salah satunya berisi sertifikat atau dokumen-dokumen untuk apply beasiswa atau lomba, atau sejenis itu.Adayang menggelitik ketika saya dapati CV mapres, “Hahaha, masa lalu!” gelak saya dalam hati, lalu spontan tangan saya memasukkannya ke tempat yang tidak seharusnya.

Tiba-tiba ada satu karton berwarna pink dan ungu yang cukup mengganggu, dengan empat tempelan putih memenuhi lembaran, serta gambar bunga-bunga hijau di kanan kirinya (jangan dibayangkan). Beberapa tulisan saya tulis dengan spidol merah, sudah tidak terlihat karena tiga tahun yang lalu saya menulis itu. Satu setengah tahun yang lalu tempelan itu selalu terlepas karena lemnya tidak kuat. Maklum, kosan saya cat temboknya gak berkualitas, jadi copot terus. Makanya, saya malas menempel lagi.

Kertas itu membuat saya terpaku cukup lama. Wah, tiga tahun yang lalu ternyata saya punya cita-cita. Satu, masuk surga. Dua, dosen. Tiga, penulis. Empat, pengusaha. Lama-lama saya malah tertawa. Dosen, penulis, dan pengusaha. Muluk amat anak muda. Saya tidak memiliki step khusus untuk menuju ke arah sana, selain tentunya melakukan apa-apa yang saya suka. Tapi dipikir-pikir, ternyata semua hampir menjadi nyata.

Alur menuntun saya sesuai dengan minat, bukan karena ingin menggapai mimpi saya yang saya tempel dulu, bahkan sudah saya lupakan sejak dua tahun yang lalu. Tapi saya bersyukur, ternyata langit menuntun saya tanpa sadar. Jadi penulis, mmh..walaupun belum, tapi lumayan, tulisan saya cukup sering dimuat di media, dan sejak tahun lalu saya jadi punya banyak sahabat di komunitas sastra bentukan bersama. Jadi pengusaha, haha, walau waktu awal kuliah saya rajin berbisnis serampangan, tapi baru setahun yang lalu saya diberi kesempatan untuk mengelola proyek sosial-bisnis secara lebih serius. Jadi dosen???

Kamar tiba-tiba jadi lebih sumpek. Saya mendadak diam, padahal tadinya senyum-senyum lugu. Mimpi itu terkubur selama dua tahun karena saya lebih berminat di bidang jurnalistik. Tapi belakangan, melihat apa yang sudah dilakukan di belakang, dan jejak CV yang ada, barangkali mengabdi untuk almamater lebih bisa diterima. InsyaAllah, banyak jalan menuju Roma.

Setidaknya, kiprah ayah saya sebagai akademisi tergantikan oleh anak pertamanya, atau menantunya??? Haha, boleh deh.


Up ↑