oleh: Alfi Syahriyani

Ajarkan sastra pada anak-anakmu, niscaya anak pengecut

menjadi pemberani (Umar bin Khatab)

Kepahlawanan. Ini adalah satu item yang seringkali dibawa ke meja hijau: dituduh, diculik, diadili, dibungkam, disalahartikan maknanya. Tidak banyak orang yang memahami apa sesungguhnya arti pahlawan dan siapa sesungguhnya orang yang pantas disebut pahlawan itu. Kita hanya tahu bahwa pahlawan adalah orang yang berjasa. Titik. Kita mungkin baru sebatas mengerti bahwa pahlawan adalah orang yang menggunakan ikat kepala merah putih dengan tulisan “merdeka” melingkar di kepala, atau mungkin, pahlawan ialah orang yang selalu tampil dengan tubuh gagah bak binaragawan. Sungguh persepsi orang bisa jadi berbeda-beda tentang makna kata yang satu ini. Namun, apa jadinya, jika saat ini kebanyakan orang mengartikan bahwa gelar kepahlawanan melulu disematkan pada seseorang yang menang di medan perang?

Kita sedang menyaksikan faktanya saat ini. Di dunia ini, sudah begitu banyak darah tertumpah karena senapan, panah, tombak, pedang, bom, hingga tank-tank perang. Bahkan tak sedikit orang yang sibuk melakukan peperangan tanpa alasan. Banyak juga orang yang menerobos sekat-sekat kemanusiaan tanpa tujuan. Semuanya tentu saja mereka lakukan dengan kecanggihan senjata. Tujuannya? Apalagi kalau bukan demi bersaing merebut gelar “pahlawan”. Jutaan jiwa melayang demi memperebutkan gelar itu. Padahal, di balik itu, mereka tak mengira bahwa ada yang lebih hebat dari kecanggihan senjata, yaitu kata-kata.

Langit akhlak rubuh

di negeriku berserak-serak

hukum tak tegak

doyong berderak-derak (Taufik Ismail)

Satu stanza puisi mungkin cukup bagi kita untuk menggambarkan kondisi negeri ini. Puluhan tahun sudah Indonesia mengalami krisis multidimensional, mulai dari bidang ekonomi, hukum, keamanan, politik, hingga moral. Terkadang, kita hanya diam menunggu Ratu Adil untuk mengembalikan kondisi negeri ini menjadi lebih stabil. Dengan kata lain, kita menanti seseorang yang diharapkan akan menjadi pahlawan negeri. Padahal, kepahlawanan, mengutip perkataan Anis Matta, adalah sesuatu yang perlu direbut, bukan hujan yang hanya bisa dinanti. Sejarah boleh berkata bahwa pahlawan adalah orang yang terjun ke medan perang, merebut haknya yang terampas, merebut harga diri bangsa, tapi hemat saya, membedah makna dan lakon pahlawan akan lebih menarik jika kita melihatnya dari sentuhan fiksi imajinasi, selain juga fakta historis. Oleh karena itu, kita akan belajar dari sastrawan, bagaimana menghadirkan pahlawan dalam negeri ini dengan pedang kata-kata, bukan pedang perang.

Lakon Sastrawan dan Pahlawan

Mari kita ubah imej pahlawan yang selalu identik dengan angkat senjata. Voltaire pernah mengungkapkan bahwa kata-kata sesungguhnya lebih tajam dari pedang. Ungkapan Voltaire bisa jadi ada benarnya. Sastrawan di negeri ini, mulai dari angkatan balai pustaka, pujangga baru, ’45, ‘50-‘60-an, ’66, reformasi, 2000-an, hingga cybersastra telah menjadi saksi sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa ini dihantui dengan perang dan ditindas penjajah, mereka justru melahirkan karya-karya besar demi menyelamatkan kaum tertindas. Sayangnya, saat ini tidak begitu banyak karya yang mengangkat tema kepahlawanan dibandingkan dengan karya orang-orang terdahulu. Lihatlah bagaimana Chairil Anwar dengan gagah menulis puisi tentang Heroisme Diponegoro serta sadurannya yang terkenal Karawang-Bekasi, kemudian Toto Sudarto Bachtiar menulis puisi berjudul Pahlawan Tak Dikenal, lalu sastrawan fenomenal Pramoedya Ananta Toer dengan novelnya Cerita dari Blora, disusul dengan karya-karya Taufiq Islmail pada 1998 yang lebih bebas mengkritik pemerintahan pascareformasi. Hemat saya, lakon pahlawan dan sastrawan bagaikan dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan.

Sastrawan sering menghidupkan lakon-lakon pahlawan dalam narasinya. Bahkan, secara tidak langsung mereka menjadi sosok pahlawan itu sendiri. Kata demi kata dan baris demi baris kalimat bahkan bisa merobohkan pemerintahan tirani dalam sekejap. Mereka memainkan peran pahlawannya secara cantik, tanpa berhadapan dengan wajah per wajah. Akan tetapi, idealisme mereka sebagai seorang pahlawan diikat oleh kata-kata, mengabadi, dan diikuti. Para mahasiswa boleh mengklaim bahwa mereka berhasil meruntuhkan rezim orde baru, tapi sikap kritis yang mereka bangun tentu saja karena kecanggihan kata-kata.

Tidak seperti imej pahlawan yang bertubuh kuat, membawa senapan, serta berperang maka sastrawan adalah pahlawan yang bermain dengan cara cantik. Sepertinya halnya peran pers, sastrawan juga merupakan kepanjangan tangan dan penyambung lidah publik. Voice to voiceless, suara untuk mereka yang tak bersuara. Namun, berbeda dengan wartawan, suara-suara kepahlawanan para sastrawan dikemas dengan begitu halus dan santun. Sesantun cara-cara mereka dalam bersuara di novel, drama, dan puisinya. Walaupun demikian, kesantunannya tetap menampar hati nurani para pembaca. Beberapa ada yang bersuara dengan suara tegas dan gamblang, tapi tetap tak melupakan nilai estetik dalam nuansa heroik.

Lakon sastrawan sebagai pahlawan terekam oleh sejarah. Kita tentu tahu bagaimana seorang penyair idealis, Wiji Thukul, bermain-main dengan kata-kata demi meruntuhkan rezim orde baru. Meski pada akhirnya ia “dihilangkan” oleh pemerintah demi menghentikan gerak subversifnya. Mugiyono bertutur, di zaman orde baru, bala tentara dan kaum cendekiawan mengontrol bahasa dan ilmu pengetahuan sehingga ketika ada pihak yang bergerak di luar kontrol, mereka harus berhadapan dengan polisi atau tentara. Kepahlawanan Wiji Thukul melalui puisi-puisinya saat itu memang dibungkam, tapi namanya kini tetap melegenda karena pemikiran kritisnya yang diikat dengan tulisan.

Selain itu, ketika Perang Dunia bergulir, lalu isu rasisme dan gender menguat di banyak negara, sastrawan di seluruh dunia menuliskan kritik dan empatinya melalui karya-karya besar. Jika pahlawan menurut kebanyakan orang identik dengan perang maka sastrawan memunculkan kepahlawanan yang sesungguhnya melalui kepekaannya terhadap tragedi itu. Mereka tidak mengangkat laras, tapi mereka berfalsafah tanpa berkhotbah. Ketika Eropa dihantui dengan Perang Dunia I, Jean Girauduouz, menuliskan sebaris kalimat menggetarkan tentang bahaya perang dalam dramanya, La guerre de troi n’aura pas lieu (Perang Troya Tak Bakal Meletus). Katanya, “kebenaran adalah korban pertama dalam perang”. Karena itu, kepekaan para sastrawan terhadap kondisi sosial pada zamannya, serta keberanian mereka dalam mengungkapkan kebenaran, membuat mereka pantas dijuluki sebagai pahlawan.

Dari sejarah kita bisa melihat bahwa sastrawan menggiring opini publik lewat tulisan dengan nuansa pemberontakan yang bernilai estetis. Karya-karya mereka seperti sebuah magnet yang menggerakkan banyak orang demi mewujudkan mimpi-mimpinya yang seringkali dibungkam kekuasaan. Sastrawan adalah pahlawan, pun membentuk orang menjadi pahlawan. Begitulah mereka memerankan lakon cantiknya, dingin, tapi berkobar. Mereka memperjuangkan kebenaran, tapi seringkali dikebiri. Itulah mengapa di awal saya katakan bahwa makna kepahlawanan adalah makna yang seringkali dibawa ke meja hijau: dituduh, diculik, diadili, dibungkam, dan seringkali disalahartikan.

Mengasah Pena Keadilan

Sudah sepuluh tahun reformasi bergulir, tapi di zaman ketika kebohongan dikemas begitu mewahnya, betapa sulitnya kita menunjuk seseorang untuk dijadikan pahlawan bangsa ini. Tidak, sungguh tidak seperti itu seharusnya kita berfikir karena sejatinya masing-masing kita adalah para pahlawan, dan masing-masing kita juga bisa menjadi sastrawan. Di tengah krisis yang mendera, banyak sekali orang yang berkoar, saling tuding, dan berperang dengan senjata, tapi sedikit sekali orang yang mau dan mampu mengasah penanya menjadi pedang untuk melawan ketidakadilan.

Bangsa ini sungguh mencari sosok pahlawan yang menggunakan pena sebagai pedangnya. Tinta mereka menjadi bahan bakar dalam proses kritik yang sehat. Kata-kata mereka sesungguhnya membangkitkan semangat kepahlawanan yang terkadang terbungkam oleh kekuasaan. Bagi seorang sastrawan, ketika karya mereka bersinggungan dengan realitas pembaca maka mau tidak mau segala konsekuensi harus diterima. Wiji Thukul adalah contoh sastrawan dan pahlawan yang menjadi korban pada zamannya. Menjadi sastrawan memang akan selalu bersanding dengan segala resikonya. Di sinilah justru titik kepahlawanan dan keberanian seorang sastrawan. Ia yang menanam maka ia pula yang menuai.

Pada akhirnya, karya-karya para sastrawan besar terdahulu seyogyanya tidak hanya menjadi romantisme sejarah, tapi juga pelajaran yang nyata praktiknya di lapangan. Di masa ini, seorang sastrawan yang pantas disebut pahlawan ialah mereka yang berpikir bahwa kepahlawanan yang diusungnya tidak hanya dikenang dalam baris kata-kata indah, tapi juga berharap bahwa ide-idenya didengar dan diimplementasikan. Seorang sastrawan yang pantas disebut pahlawan ialah ia yang pemikirannya mampu mengubah hidup banyak orang, tapi tidak berharap bahwa nama populernya saja yang dikenang. Seorang sastrawan yang pantas disebut pahlawan ialah ia yang bisa melihat momen dan mengemasnya menjadi tulisan yang menggerakkan, bukan menyesatkan.

Multatuli, Chairil Anwar, Ananta Toer, Taufiq Ismail, dan sastrawan-sastrawan besar lainnya tidak berharap karyanya akan laku di pasaran, tapi mereka berharap, lakon kepahlawanannya diikuti oleh generasi di masa mendatang meski nyawa meregang. Oleh karena itu, mencari semangat kepahlawanan lewat sastra adalah sesuatu yang harus selalu kita perjuangkan karena disitulah kebenaran dan keberanian dipertaruhkan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Umar bin Khatab pada masa kejayaan peradaban Islam, “ajarkan sastra kepada anak-anakmu, niscaya anak yang pengecut menjadi pemberani” (*)